Jarwo Dosok, Kebijaksanaan Jawa

Jawa

Pertama kali mengenal istilah Jawo Dosok saat saya membaca buku Jawa-Islam-Cina : Politik Identitas Dalam Jawa Safar Cina Sajadah, karya Cin Hapsari Tomoidjojo. Secara general, jarwo dosok diartikan sebagai sebuah kata dalam bahasa jawa yang merupakan gabungan atau pemendekan dari 2 kata atau lebih. Pemendekan kata-kata tersebut dilakukan untuk memudahkan penyebutan, namun pada saat bersamaan tetap mempertahankan makna, tentunya bagi yang paham dengan makna kata-kata awalnya.

Contoh dari jarwa dosok adalah kata krikil atau kerikil. Kita sama-sama tahu apa itu kerikil. Tak lain tak bukan adalah batu berukuran relatif kecil. Dalam kaidah jarwo dosok di buku tersebut, ternyata kerikil adalah pemendekan dari kata keri nang sikil, atau kalau diterjemahkan secara bebas artinya geli di kaki. Keri, dengan ‘e’ dibaca seperti dalam kata ‘kereta’ berarti geli atau menggelitik, sedangkan ‘sikil’ berarti kaki.

Saya bukan pakar linguistik, tak pula fokus memperlajari kajian ini, namun saya temukan kata kerikil tadi sangat menarik. Kaidah jarwo dosok-nya tidak mengacu pada bentuk fisik atau fitur visual dari obyek bersangkutan, namun lebih ke hubungan atau efek yang diakibatkannya pada manusia yang bersentuhan dengannya. Menarik sekali, karena sangat simbolik.

Saya temukan jarwo dosok lainnya, seperti:

  • Kanthil (Tansah Kumanthil)

Tansah Kumanthil bisa diterjemahkan bebas sebagai Senantiasa Menempel (Berkaitan). Hal ini tentunya cocok dengan kata Kanthil sendiri, yang tak lain adalah nama bunga. Bunga kanthil alias Cempaka Putih (michelia alba). Bunga ini terkenal harum baunya dan dalam budaya Jawa dianggap istimewa, karena digunakan di berbagai acara penting, seperti perkawinan dan kematian. Pasangan pengantin biasa didandani dengan menyelipkan bunga ini di rambut. Makna dari kanthil sendiri adalah senantiasa terkenang atau lengket. Karenanya tak salah jika bunga ini pula banyak digunakan sebagai medium “pelet” alias gendam cinta. Lebih detail soal bunga kanthil, simak review di sini.

  • Garwa (Sigaraning Nyawa)

Garwa bida diterjemahkan sebagai pasangan, bisa suami atau istri. Garwa adalah jarwo dosok dari Sigaraning Nyawa, atau Belahan Jiwa. Isn’t it romantic? Padanan Bahasa Inggrisnya tak lain adalah soulmate. Bisa Anda bayangkan bahwa dalam budaya Jawa, seorang pasangan tak lain adalah belahan jiwa pasangannya. Pasangan jiwa tentunya sosok yang sangat berharga, dihormati, disayangi & dilindungi. Ibarat alter ego, pasangan adalah sisi diri kita sendiri yang lain.

Menarik bukan? Saya merasa ini salah satu kebijaksanaan budaya Jawa yang musti kita gali dan terus lestarikan.