Rahasia Kebahagiaan Menurut Buddha

Samsara

Di antara ajaran-ajaran besar dunia, Buddhisme sangat menarik untuk dipelajari. Salah satu ajaran tertua yang bertahan sampai hari ini, Buddhisme berakar pada hasil kontemplasi Siddharta, sang pangeran yang melepaskan diri dari kehidupan kebangsawanan untuk mencari pencerahan, dan akhirnya ditemukannya di bawah naungan pohon Boddhi.

Dari apa yang saya pelajari sejauh ini mengenai Buddhisme, saya temukan beberapa hal penting & menarik. Antara lain apa yang akan saya share berikut ini. Yaitu mengenai rahasia meraih kebahagiaan dalam hidup.

Dalam hidup, manusia tak bisa menghindari apa yang disebut sebagai lingkaran samsara. Lingkaran kelahiran, kehidupan, kematian & kelahiran kembali. Apa yang kita lakukan dalam kehidupan menentukan seperti apa kehidupan kita berikutnya, umum disebut sebagai karma.

Buddhisme sangat concern dengan betapa samsara ini membelenggu manusia dan menjadikan hidup kita “menderita”. Pencarian terbesar dalam hidup adalah bagaimana bisa melepaskan diri dari lingkaran samsara ini dan mencapai kebahagiaan, atau kita sebut “nirwana”. Sedikit beda dengan ajaran sawami, nirwana tidak berwujud laiknya surga atau taman firdaus. Nirwana tak bisa didefiniskan. Intinya adalah lepasnya segala penderitaan.

Nah, yang saya sebut menarik dalam konsep ini adalah, pemahaman yang coba ditransferkan kepada penganutnya.

Diawali dengan postulat bahwa “Hidup adalah penderitaan”.

Dilanjutkan dengan postulat berikutnya, “Penderitaan disebabkan oleh keterikatan kepada dunia (attachment to the world)”.

Satu-satunya cara mencapai pelepasan dari penderitaan adalah melepaskan keterkaitan diri dengan duniawi.

Melepaskan diri dari keterkaitan diri dengan duniawi, ini adalah kuncinya. Apa maksud keterkaitan diri dengan duniawi?

Hal ini tak lain adalah pemujaan diri akan hal-hal duniawi. Pemahaman bahwa kebahagiaan kita ditentukan oleh kepemilikan akan hal-hal duniawi, seperti harta, keluarga, kekuasaan, pasangan dan sebagainya. Bahwa kita berharga hanya jika memiliki hal-hal duniawi tadi. Jika tidak, hidup tak berarti, dan hilang segala semangat diri.

Jika direnungkan dalam-dalam, pemahaman ini mirip dengan apa yang diajarkan para sufi dalam Islam. Bahwa segala apa yang menjauhkan kita dari mengingat Yang Satu adalah tuhan palsu. Jika harta, tahta, wanita/pria, anak dan sebagainya menjadikan diri kita lupa mengingat Yang Satu, artinya kita sudah mempertuhankan yang lain.

Hal pertama yang ditekankan para mursyid kepada para murid & para salik adalah penghambaan penuh kepada Yang Satu, Allah SWT, dan menafikkan penghambaan pada yang lain. Karena yang lain adalah mahluk, dan sesama mahluk tak layak saling bersandar. Yang layak disandari adalah Yang Tunggal, Yang Absolut, Yang Satu.

Sangat menarik untuk melihat kemiripan ajaran-ajaran tersebut. Bukan dalam konteks menyamakan, namun menemukan benang merah di antaranya. Dengan harapan menemukan pencerahan pada level esoteris dan tetap menghargai implementasi teknis eksoterisnya.

So, coba pejamkan mata sejenak, dan bayangkan dalam benak Anda. Kepada siapa Anda menyandarkan diri. Kepada apa kebahagiaan & makna hidup Anda sandarkan. Uang Anda, Harta Anda, Jabatan atau Profesi Anda, Keluarga, Pasangan, Anak-anak Anda atau apa?

Jika jawabannya bukan Yang Satu, maka hampir bisa dipastikan kita masih terjebak dalam lingkaran samsara tanpa ujung tanpa pangkal. Dan jika kita masih berputar-putar dalam lingkaran samsara, sulit kiranya meraih kebahagiaan dalam hidup ini.

Good day people.