Menjadi pencari tak pernah mudah, itu yang aku pelajari dari kisah San Ali. Melepaskan segala kedirian untuk menemukannya. Menemukan tujuan hidup, menemukan akhir dari perjalanan, menemukan sandara jiwa, menemukan apa makna keberadaan manusia yang fana di dunia ini.
Menjadi pencari, adalah naluri dasar manusia. Begitu lahir di dunia, hal yang pertama kita sadari adalah kehilangan. Rasa sepi, sendiri, terlantar, tertinggal di suatu tempat yang nan luas yang tak jelas kanan kiri, atas bawah, depan belakang. Kita mulai dengan pertanyaan kenapa, siapa, untuk apa, ke mana semua ini menuju & musti ditujukan.
Kita menggapai-gapai. Kita mereka-reka, menerka-nerka. Kita memicingkan mata, menajamkan telinga, mengendus ruapan udara hanya untuk mencarinya.
Tujuan hidup kita.
San Ali mengawali semua dengan menanyakan. Memikirkan apa yang diajarkan orang-orang sekitarnya, para guru-gurunya, lingkungan sekitarnya, semua yang dianggap sebagai kebenaran. Dia bertanya, seberapa benar sebuah kebenaran itu. Cukup benarkah dengan mengetahui kebenaran, yang bahkan kita sendiri tak bisa menyakinkan sebenar-benarnya kebenaran itu.
Dia bertanya tentan apa itu surga dan neraka. Apa itu pahala dan dosa. Apa itu kebaikan & keburukan. Najis & suci. Setan & malaikat. Manusia & Tuhan. Dia bertanya untuk apa semua ada, kepada siapa mereka menuju, dan bagaimana mustinya jalan itu ditempuh.
Dia bertanya, pada dirinya sendiri, siapa aku, siapa Dia. Karena jika kita percaya bahwa hanya ada Dia yang eksis, maka aku sebenar-benarnya tak ada. Dia atau Aku lah yang seada-adanya. Yang lainnya adalah ilusi semata. Aku saat kita mengaku akan keberadaan diri yang terjadi adalah pengingkaran terhadap keberadaan Aku yang sesungguhnya. Karena kalau hanya ada Aku, maka aku adalah nonsense. Segalanya musti dikembalikan ke Aku. Bahkan ketika aku mempertanyakan soal Aku, maka sebenarnya yang ada adalah Aku yang tengah menggerakkan aku untuk mempertanyakan Aku.
San Ali menemukan dalam kontemplasinya, di bawah pohon kalpa, di atas bukit berbalut hijaunya rumput & dedaunan, bahwa semua mahluk yang ada, dari manusia, hewan, tanaman, tanah, batu air, angin, aneka benda langit, hingga yang tak kasat mata, sesungguhnya tengah mencari Aku. Semua menyusuri jalanNya dengan cara yang masing-masing mereka bisa lakukan. Semua memancarkan getaran-getaran dari sisa-sisa sentuhanNya dikala penciptaannya. Semua mengingatNya.
Bahkan di kala cara yang dilakukan mahluk tadi dimata kita terlihat salah, yang sebenarnya adalah benar menurut kebijaksanaanNya. Iblis hanya bisa memuja dengan cara iblis, begitu juga dengan malaikat hanya bisa memuja dengan cara malaikat. Begitu pula semua mahluk lain yang ada di dunia, tak kecuali manusia. Tak kecuali kita.
***
San Ali mulai berjalan. Di setiap tempat ditemuinya orang dengan jalannya masing-masing. Para santri nan tekun menjalani hari-hari penuh pelajaran agama. Para petani yang dengan rendah hati mengolah alam guna menumbuhkan tanaman pangan & menuai hasilnya. Para pedagang yang dengan tekun berniaga & menghitung keuntungan darinya. Para pencuri, begal, maling, pelacur, penjudi yang menghabiskan waktu melakoni perannya tadi. Para pemuja dewa-dewi, pengorban darah & hewan sesembahan di altar-altar pemujaan yang teguh pada kepercayaan leluhurnya. Semua disambanginya dalam perjalanan.
Semua memberi San Ali pelajaran, bahwa Aku bekerja dengn cara-cara yang kadang tak bisa dipahami kasat mata. Aku bekerja melalui tangan-tangah halus yang menggerakkan semua yang ada, meski bersimpang siur di permukaan, namun bersangkut -pautan di akhirnya.
Pada seorang rsi dia belajar tentang pengingkaran diri. Peniadaan keinginan & eksistensi. Dia belajar tentang bagaimana tubuh musti dikekang guna melawan nafsu badaniah. Tubuh beserta segenap kebutuhan, keinginan musti dipenjarakan melalui latihan-latihan peniadaan. Puasa, meditasi, penyucian diri, penajaman hati & pikiran dilakoninya dari hari ke hari. Dia menemukan dirinya tersedot ke alam yang tak bisa dinyana sebelumnya. Dia menyatu dengan alam sekelilingnya. Menjadi satu dengan air, udara, tanah, bebatuan, daun-daunan, hewan buas & ternak. Dia menyatu dengan mereka untuk akhirnya kembali lagi ke tubuhnya yang makin mengurus kering.
Telah mampu ditundukkannya harimau buas hanya dengan sorot mata. Dielusnya mahluk yang bisa mengoyak tubuhnya nan kerempeng dengan taringnya yang tajam bak belati. Namun, bahkan hal itu tak memuaskan dahaganya akan Aku.
Bukan itu yang dicarinya. Bukan seperti itu.
Maka melangkahlah dia lagi menuju Aku.
***
Ditemuinya berikutnya seorang Cina Muslim juragan perahu. Sepanjang perjalanan menyusuri samudra menuju Palembang, dia bercerita. Masa lalunya adalah seorang perompak. Kejam, rakus, tega, tak kenal maaf adalah perilakunya. Dia tumpuk segunung harta dunia. Dia kuasai kota-kota pelabuhan sepanjang sumatera. Dia buat gentar semua nahkoda kapal yang melintasi wilayah kekuasaannya. Dia tak terkalahnya, pikirnya saat itu.
Sampai ditemuinya sesosok manusia luhur yang rela meloncat dari kapal dagang yang tengah dirompaknya demi menyelamatkan seorang anak kecil yang jatuh ke air. Alih-alih tenggelam, sang tokoh mengambang di permukaan air. Menjulurkan tangan ke dalam samudra biru dan menarik sosok anak yang tenggelam tadi, untuk kemudian bak elang melompat balik ke kapal.
Urung niatnya merompak kapal tadi. Dibuntutinya sang tokoh tadi dan setelah berapa kali pertemuan, kepadanya dia berbait untuk mengikuti jalanNya. Ditinggalkan semua keburukan di masa lalu. Dilepaskan semua gelar, kekuasaan, harta benda hanya demia melangkah di jalanNya. Namun, di kala dia mulai menyusuri jalanNya, satu-satunya hal berharga dalam hidupnya, sang putra tunggal, raib entah kemana. Dia meradang. Mengancam akan membunuhi semua orang jika tak menemukan sang putra. Untung, di titik keterpurukan tadi, cahaya menembus kabut hitam yang menyelimuti. Dia tercerahkan bahwa apa yang terjadi adalah ujian di jalan yang tengah ditempuhnya.
Merelakan, meski pahit, adalah kunci menyusuri jalanNya.
San Ali mengangguk mencerna cerita sang mantan perompak. Saat yang sama, kapal yang ditumpangi telah memasuki dermaga Palembang. Dia akan menjumpai guru berikutnya di sana.
***
Sang guru bernama Ario Damar. Dia mantan penguasa Palembang. Sebagai raja bawahan Majapahir nan berkuasa penuh, Ario Damar seorang negarawan sekaligus sosok ksatria nan sakti perkasa. Dikuasainya jalur perdagangan sumatera setelah menumpas habis para perompak Cina. Dibangunnya kembali kebesaran kota pelabuhan peninggalan negri masyur Sriwijaya tersebut. Diciptakannya sistem pemerintaha, perdagangan, keamanan yang menjamin kemakmuran bagi semua. Dialah Ario Damar, yang namanya menggetarkan semua yang mendengarnya.
Ario Damar belajar Bhairawa-Tantra dari masa mudanya. Dia kuasai kesaktian luar biasa yang membuatnya tak kenal takut pada siapa. Dia temukan jalanNya saat menjadi penguasa Palembang. Sejak itu dia susuri jalan pencari yang lebih terang.
Di depan Ario Damar, San Ali memohon nasehat.
Dipandu sang guru, San Ali menembusi lapis demi lapis bumi hanya untuk menemukan apa yang disebut sebagai mahluk-mahluk sebelum Adam. Banul Jam. Bangsa yang terusir dari permukaan bumi ke dalam relung bumi & pulau-pulau di tengah samudra. Mahluk yang disebut para malaikat sebagai penumpah darah & pembuat kerusakan di muka bumi. Mahluk yang sebagian besar dimusnahkan pasukan malaikat. Mahluk yang kemajuan pikir & ilmunya, kemakmuran negri-negrinya, kehebatan angkatan perangnya menjadikan mereka lupa tujuan penciptaannya.
Dengan takjub, San Ali melihat bagaimana benar adanya mahluk di luar manusia yang tak kasat mata. Disambanginya satu demi satu kota-kota berperadaban tinggi di setiap relung bumi. Dicakapinya mahluk-mahluk yang sebagian mirip manusia, sebagian mirip hewan buas, yang semuanya haus darah menjalani hidup dalam puak-puak laksana masyarakat manusia adanya.
Oleh gurunya, San Ali dibawa pula menuju bintang-bintang nan berpenghuni di jagat raya. Di temuinya mahluk-mahluk yang tak kalah menakjubkan dengan berbagai bentuk & perilaku. Semua, sebagaimana manusia yang ada di dumi, juga menanggung takdir yang sama, sebagai pencari untuk kembali padaNya.
Bimbingan sang guru menyingkapkan selapis tabir dalam jiwanya. Masih banyak lapisan-lapisan tabir yang musti disingkapnya.
***