Tips Sukses Presentasi

Presentasi

Presentasi kiranya bagian tak terpisahkan dari hampir setiap profesi. Hampir, karena mau bidang apapun yang kita geluti, teknis & non teknis, presentasi pasti pernah atau harus kita lakukan. Barang sekali paling tidak.

Apalagi bagi yang bergelut di bidang marketing atau sales, presentasi adalah sebuah keharusan. Mungkin makanan sehari-hari kita.

Banyak yang mengeluhkan susahnya membuat atau melakukan presentasi. Banyak punya yang tidak percaya diri saat “terpaksa” harus melakukan presentasi. Kebanyakan yang mengaku demikian adalah orang-orang teknis, meskipun tak menutup kemungkinan orang non-teknis pun mengalaminya.

Nah, di sini saya tidak akan membagi tips teknis bagaimana membuat atau melakukan presentasi. Banyak sekali buku panduan atau tutorial di luar sana tentang hal tersebut. Yang ingin saya bagi, lebih ke sesuatu yang fundamental. Sesuatu yang dalam.

Berdasarkan pengalaman pribadi melakukan banyak sekali presentasi, baik untuk kepentingan perusahaan tempat saya bernaung, maupun kepentingan pribadi, saya temukan satu hal yang sejauh ini relatif bisa saya jadikan pegangan, sukses tidaknya presentasi yang saya lakukan. Sukses di sini saya ukur dari berhasil tidaknya saya meyakinkan klien atau pihak yang menjadi audience presentasi saya, dan akhirnya closing deal. Apapun deal yang saya maksud tersebut.

Hal tersebut adalah “emotional bond”, alias ikatan emosional.

Yang saya temukan adalah, audience presentasi kita sebenarnya tidak peduli atau bahkan cenderung apatis dengan konten presentasi kita. Ya, saya berani bilang, percuma kita mengisi slide-slide presentasi kita dengan data, angka, achievement dan sebagainya. Apalagi kalau dalam konteks bisnis, di mana kita sebagai pemilik produk atau jasa mencoba meyakinkan calon klien untuk membeli atau menggunakan jasa kita, maka percuma membombardir mereka dengan semua info fitur, benefit dan sebagainya. Mereka sehari-hari berurusan dengan hal tersebut, menemui vendor-vendor lain yang juga menawarkan hal serupa, masih harus mengurusi setumpuk pekerjaan rutin & administrasi di perusahaan mereka sendiri. Jadi, percuma menambahkan hal yang sama & berharap mereka mau peduli dengan apa yang kita bicarakan.

Saya pernah & masih berada di dua posisi yang berseberangan ini. Sebagai klien & sebagai vendor. Artinya, saya bekerja di perusahaan yang ditawari produk/jasa oleh pihak lain. Di saat lain, saya menjadi vendor yang menawarkan produk/jasa ke klien. Saya tahu rasanya dibuat boring mendengarkan presentasi mereka tentang betapa bagus, betapa hebat, betapa banyak pencapaian dan angka dan daftar klien dari vendor-vendor tersebut. Dan itu tidak membuat saya tergerak untuk mau memilih mereka menjadi vendor saya. Kecuali kalau boss saya memaksa tentunya.

Karenanya saya pun tak mau melakukan hal yang saya ketika saya menjadi vendor dan berusaha meyakinkan calon klien saya.

Jadi, apa yang saya lakukan. Well, seperti yang saya sebut di atas, saya coba pendekatan “emotional bond” tadi.

Alih-alih mengisi presentasi saya hanya dengan semua info tentang fitur, keunggulan, angka, pencapaian dan sejenisnya, saya berusaha menemukan, menganalisis & mengkomunikasikan “sesuatu” yang bisa menciptakan & atau menumbuhkan ikatan emosional tersebut. Ikatan emosional antara saya dengan sang klien ini.

Sesuatu itu bisa berupa ungkapan verbal, frase, bahasa tubuh atau apapun.

Rill-nya seperti ini. Sebelum presentasi, saya akan mencari tahu siapa calon klien saya. Siapapun yang akan melakukan presentasi mustinya melakukan hal yang sama. Karena, tidak masuk akan kiranya kita akan menemui seseorang atau suatu pihak untuk mempresentasikan suatu penawaran bisnis tanpa mengetahui orang atau pihak tersebut. Paling tidak, informasi dasar tentang orang atau pihak tersebut musti kita ketahui. Siapa namanya, apa bagiannya, apa posisinya, lebih bagus lagi kalau bisa mengetahui background personalnya. Orang mana, suku apa, lulusan mana, background keluarga, hobi dan apapun. Informasi apapun yang bisa didapat sebaiknya dipelajari.

Nah, dari penggalian informasi ini, background checking ini, kita bisa menemukan banyak informasi menarik yang sekiranya nanti akan berguna bagi kita. Dari semua info tadi, cari informasi yang bisa kita ekploitasi, yaitu informasi yang membuat kita terkoneksi dengan orang tersebut. Hal termudah adalah background suku/ras. Semisal Anda orang Jawa dan pihak yang jadi audience presentasi adalah orang Jawa juga, ini bisa jadi pintu masuk untuk menumbuhkan emotional bounding tadi. Atau misalnya background pendidikan, sama-sama lulusan sebuah Universitas, atau pernah bekerja di sebuah perusahaan yang sama. Atau mungkin hobi yang sama. Gunakan kesamaan itu sebagai pintu masuk.

Apa? Anda bilang ini tidak profesional? Siapa bilang. Apa Anda pikir profesionalitas hanya berkaitan dengan mempresentasikan semua data, angka & pencapaian saja?

Well, kalau seperti itu, Anda hanya akan berputar-putar di lingkaran yang sama dan hanya keberuntungan saja yang menjadikan presentasi Anda berhasil. Sementara jika Anda mencoba mengeksplorasi emotional bound tadi, peluang sukses Anda akan lebih besar.

Nah, pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana masuk ke pintu & menumbuhkan emotional bound tadi?

Seperti saya singgung di atas, semuanya dilakukan secara halus dan subtle. Sebisa mungkin tak telihat frontal. Misal, jika klien yang Anda tuju ini sama-sama orang Jawa, let’s say orang Jawa Timur, Anda jangan sekali-kali menyebutkan Anda orang Jawa atau Jawa Timur juga. Jangan frontal. Anda cukup misalnya, menambahkan aksen atau sedikit frase yang sesama orang Jawa Timur pasti aware, misalnya ungkapan “rek” di akhir sebuah kalimat.

Lakukan itu as if hal itu natural keluar dari mulut Anda. Lakukan itu, dan lihat perubahan ekspresinya. Perhatikan perubahan sikap yang bersangkutan pada Anda.

Tentunya, Anda tidak boleh over dalam melakukannya. Jika klien tersebut tidak merespon atau menunjukkan perubahan sikap atau sejenisnya, well artinya pendekatan emosional lewat sentimen kesukuan tadi tidak manjur padanya. Coba yang lain. Coba gali lagi dari info background checking yang Anda lakukan sebelumnya, apa “common interest” lain di antara Anda berdua.

Saya senantiasa percaya, bahwa seringkali, keputusan bisnis, didorong bukan atas pertimbangan logis sang pengampu kepentingan, tapi lebih pada dorongan tak sadar yang bersangkutan. Dorongan yang muncul dipicu oleh hal-hal simple emosional seperti sentimen emosional, kedekatan budaya, sikap dan sejenisnya.

So, lain kali Anda akan melakukan presentasi, untuk kepentingan bisnis atau mungkin untuk wawancara kerja, ingat tips saya di atas. Cari tau siapa calon klien presentasi Anda, temukan common interest di antara Anda berdua, ekplotasi hal tersebut lewat ungkapan, catchphrase dan body language simple. Dan lihatlah hasilnya. You might be surprised by the result.

Goodluck people. Enjoy your day.