Jejak Panjang Kopi Dalam Peradaban Dunia

Lloyd's Coffee House, London

Lloyd’s Coffee House, London

Jonathan Swift, pemikir asal Inggris, pernah berujar “Coffee makes us severe, and grave, and philosophical“. Tak salah kiranya apa yang diungkapkan penulis kisah Gulliver’s Travels tersebut tentang kopi dan bagaimana efeknya terhadap kehidupan manusia.

Tercatat tak kurang dari 1,6 milyar cangkir kopi dikonsumsi setiap harinya. Jumlah nan luar biasa, cukup untuk mengisi penuh 300 kolam renang standar Olimpiade. Dan hari demi hari, popularitas komoditas minuman satu ini semakin menanjak. Anda dan saya barangkali satu di antara jutaan manusia di dunia yang tak bisa lepas dari nikmatnya menyeruput kopi, khususnya saat mengawali  aktifitas di pagi hari.

Sebenarnya, sejak kapan kecintaan kita akan kopi dimulai?

Dalam buku 1001 Inventions Muslim Heritage in Our World disebutkan sekitar 12 ribu tahun lampau, di tanah Ethiopia, seorang gembala menemukan kambing-kambingnya berperilaku aneh selepas memakan buah tanaman tertentu di bukit. Alih-alih menghindarinya, sang gembala mengumpulkan buah tersebut, membawanya pulang, kemudian merebusnya untuk diminum.

Rebusan buah yang memberikan efek bersemangat bagi peminumnya ini kemudian disebut al-qahwa, yang memberi kita sekarang nama coffee atau kopi. Pelan-pelan, masyarakat banyak meminatinya, khususnya para sufi yang mengkonsumsinya guna membantu terjaga di malam-malam saat menjalani ritual dzikir. Popularitas kopi menyebar luas hingga ke Mekkah dan Turki pada abad ke 15, serta menjangkau Mesir di abad 16.

Al Qahwa

Al Qahwa

Persinggungan budaya antara dunia timur dan barat, terutama lewat perdagangan menjadikan tak butuh lama hingga kopi dikenal masyarakat Eropa. Tak beda jauh dengan yang terjadi di dunia timur, kopi menjadi minuman populer hampir semua kalangan. Adalah seorang Turki bernama Pasqua Rosee yang pertama kali membuka kedai kopi di Inggris pada 1650 dan langsung menjadi sensasi.  Tercatat tak kurang dari 500 kedai kopi berdiri di Inggris pada tahun 1700-an.

Kedai kopi ternyata tak berhenti hanya sebagai tempat menikmati minuman berwarna hitam pekat nan pahit. Ia bertransformasi menjadi wahana kumpul berbagai lapisan masyarakat, di mana ide dan pemikiran saling diperbincangkan dan tak jarang diperdebatkan. Pada masa tersebut, kedai kopi disebut sebagai penny university, di mana siapapun bisa mendengarkan para tokoh menelaah dan berdiskusi seru hanya dengan merogoh kocek satu penny (sekitar 1/240 pound) yang merupakan harga secangkir kopi.

Kedai kopi di Inggris, serta banyak negara Eropa lainnya, disebut-sebut sebagai salah satu cikal bakal lahirnya pub serta yang paling utama tumbuhnya berbagai pemikiran liberal yang akhirnya melahirkan gerakan modernisme. Semua karena secangkir kopi.

So, sudahkah Anda minum kopi hari ini?

kopi

Bangsa Besar Adalah Bangsa Yang Terus Belajar


Saya punya sebuah kepercayaan, bahwa sebuah bangsa jika ingin menjadi besar, musti terus menerus tiada henti belajar. Belajar tentang apa saja, dari sumber mana saja, sekuat tenaga, dari awal hingga akhir usia.

Mengapa saya percaya demikian?

Mari kita tengok perjalanan sejarah manusia. Perjalanan sejarah banga-bangsa besar yang riuh rendah di dalamnya. Ada beberapa contoh yang masing-masingnya memberi pembelajaran menarik akan arti pentingnya belajar.

Kita mulai dari Bangsa Yunani.

Bangsa Yunani, khususnya mereka yang datang dari kota Athena & wilayah-wilayah jajahannya di Asia Minor, terkenal sebagai akar peradaban Barat. Dari mereka lah bangsa-bangsa Barat mengenal berbagai macam pengetahuan. Orang-orang Yunani dianggap sebagai masyarakat yang di awal jaman mengolah pikir & melawan mitos, sehingga melahirkan apa yang kita sebut sekarang sebagai ilmu pengetahuan (science).

Alih-alih berhenti pada kepercayaan bahwa Zeus marah & mengelurkan petir lewat tongkatnya yang kemudian mewujudkan hujan, tokoh-tokoh seperti Aristoteles, Archimides, Anaxagoras, Plato dan sebagaimanya mengamati alam & manusia, mencari korelasi antar kejadian, melakukan percobaan untuk mensimulasi kejadian sama, dan menyimpulkan apa yang mereka sebut sebagai hukum alam & pengetahuan.

Mereka berpikir, berdiskusi, berdebat hingga bahkan saling baku pukul demi mempertahankan pendapat. Banyak martir yang terpaksa atau rela kehilangan nyawa dengan alam pikir bebas dialogis macam ini, sebut paling tenar Socrates, yang dipaksa mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun karena dianggap mengajarkan anak-anak muda Athena untuk tidak percaya dewa-dewa Yunani.

Tapi sekali lagi, mereka tidak menyerah. Mereka terus belajar, termasuk dari bangsa-bangsa lain. Khususnya dari bangsa Mesir yang kala itu sudah dikenal sebagai gudang pengetahuan. Betapa banyak filsuf Yunani yang menghabiskan masa muda belajar di Mesir, salah satunya Archimides, yang dalam satu hikayat berhasil menghitung tinggi piramid dari panjang bayangnnya.

Dari Yunani kita loncat ratusan tahun berikutnya ke Romawi.

Dianggap sebagai penerus kebudayaan Yunani, bangsa Rowami juga tak kalah hebat dalam soal belajar. Mereka tak hanya mewarisi teks-teks pengetahuan Yunani, namun mengembangkannya pula. Hasilnya, Romawi selama berabad-abad dikenal sebagai imperium besar dunia dengan wilayah kekuasaan lintas benua. Tokoh-tokoh seperti Plotinus, Epictetus, Lucretius adalah beberapa diantaranya.

Pasca Romawi pecah, Eropa Barat terjerembab dalam kehancuran budaya, apa yang akrab kita kenal sebagai Abad Kegelapan. Kebudayaan Romawi terus berkembang di wilayah Romawi Timur, khususnya di wilayah Bizantium yang hari ini berlokasi di Turki dan sekitarnya.

Yang menarik adalah, ilmu pengetahuan & dunia pemikiran dunia tidak berhenti saat Romawi hancur. Budaya belajar & pemikiran ini diteruskan ke arah Timur Tengah, salah satunya difasilitasi oleh bangkitnya agama baru dari jazirah Arab, yaitu Islam. Menarik dari kisah bangkitnya peradaban Islam adalah datangnya dari sebuah wilayah yang bisa dibilang in the middle of nowhere. Tidak punya potensi alam yang layak dibandingkan budaya-budaya besar lainnya, seperti Bizantium, Persia, Mesir, Mesopotamia atau manapun. Namun, anehnya dari tanah nan tandus, masyarakat nan barbar, lahir peradaban Islam yang sejajar atau bahkan di puncak keemasannya lebih jauh melampaui pencapaian kebudayaan-kebudayaan sebelumnya.

Doktrin Islam yang menarik adalah perintah pertama yang diterima Nabi Muhammad. Perintah “iqra”. Satu-satunya doktrin agama yang menyuruh manusia untuk memulai segala sesuatu dengan “membaca” alias mengkaji. Bukan layaknya doktrin agama lain yang menekankan percaya semata, namun justri perintah untuk mengkaji, untuk berpikir. Yang artinya mempertanyakan. Benar-benar unik.

Iqra ini pula lah yang sepertinya menjadi sumber tenaga tak terbatas dari masyarakat Islam, baik di awal perkembangannya, untuk mempertanyakan kondisi fisik, sosial, ekonomi masyarakatnya, mempertanyakan esensi kehidupan manusia & tugas sosialnya, dan mentransformasi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya menjadi masyarakat yang lebih manusiawi.

Banyak sekali kisah di masa-masa awal perkembangan Islam di mana manusia-manusia berbondong-bondong memeluk Islam bukan karena todongan pedang atau ancaman perang, namun karena keindahan pemikiran dan ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Manusia-manusia padang pasir yang terbiasa menyelesaikan masalah lewat jalan kekerasan, mengabdi pada pencapaian dunia, menyandarkan diri pada mitos dan dewa-dewa peninggalan lama, disentakkan dengan ide baru tentang kemanusiaan, tentang ketuhanan yang abstrak nan esa, tentang kewajiban sosialnya dan oleh keindahan perilaku para pemeluknya.

Tak hanya berhenti di situ, para penerus kebudayaan Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad & generasi awal Islam, mulai dari dinasti Umayyah, Abassiyah, Fatimiyah dan berbagai dinasti lain di berbagai penjuru Darul Islam (Dunia Islam), membuka diri terhadap budaya & pengetahuan lain. Tidak hanya membuka diri, mereka mengejar pengetahuan itu di berbagai pelosok wilayahnya. Betapa masjid-masjid bersebelahan dengan madrasah, tempat masyarakat belajar, tak hanya soal agama, tapi juga pengetahuan lain. Lihat bagaimana para penguasa Abassiyah mendirikan & mengisi Bait al Hikmah (Rumah Pengetahuan) dengan buku-buku dari berbagai bidang, menggaji mahal para ulama & pemikir untuk menerjemahkan teks-teks dari Yunani, Romawi, India, Mesir dan berbagai budaya lain ke dalam bahasa Arab untuk bisa dikembangkan lebih lanjut.

Tak heran lahir pemikir-pemikir besar yang kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban modern seperti Ibn Sina, Ibn Rush, Ibn Jabbar, Al Kindi dan sebagainya. Mereka dan banyak lagi pemikir lainnya yang menghidupkan kembali berbagai pengetahuan dan memungkinkan persebarannya secara luas, salah satunya kembali ke Barat dengan titik baliknya Renaissance di abad 15.

Dari interaksinya dengan peradaban Islam, terutama lewat berkali-kali Perang Salib, juga lewat perdagangan & kehidupan bersama baik di wilayah Timur Tengah maupun Spanyol Islam (Andalusia), peradaban Barat kembali berkembang. Renaissance kata mereka. Aufklarung semangatnya. Hingga sekarang, Barat mampu mempertahankan hegemoninya sebagai pusat pengetahuan modern pasca redupnya kebudayaan Islam setelah kehancuran pusat-pusat peradabannya akibat serangan bangsa Mongol dan hancurnya dinasti Ottoman di awal abad 20.

So, bagaimana dengan Indonesia sendiri, apakah yang bisa kita pelajari dari perkembangan peradaban di wilayah yang dulu dikenal dengan sebutan Nusantara ini?

Siapa tak kenal kerajaan-kerajaan besar macam Kutai, Tarumanegara, Mataram Hindu, Sriwijaya, Kahuripan, Kediri, Singhasari, Majapahit, Demak, Mataram Islam, Gowa-Tallo dan banyak lagi lainnya. Masing-masing menorehkan pencapaian politik, ekonomi, sosial budaya yang luar biasa. Bagaimana bisa dibilang luar biasa, kita bisa tengok dari rekam jejak peninggalan arkeologis yang ada. Aneka candi dan bangunan ibadah dengan ragam corak & relief yang tak hanya indah secara estetik, namun juga berisi pembelajaran agama, moral & budaya bagi pengikutnya.

Berbagai prasasti, naskah sastra, patung, dan ragam seni lainnya yang masih bisa dinikmati hingga sekarang, seperti batik, keris dan sebagainya. Semua pastinya tak lepas dari kiprah para pemikir-pemikir handal pada masanya, yang umum dikenal sebagai Empu dan Resi. Namun, memang sejauh kajian sejarah mencatat, bangsa-bangsa di Nusantara yang menjadi pengusung kebudayaan di berbagai kerajaan tadi tidak meninggalkan catatan tentang model pendidikan umum bagi publik, atau dukungan kuat penguasa terhadap pengembangan pola pikir & logika.

Nah, sekarang bagaimana dengan masyarakat kita di jaman modern ini, di Indonesia ini?

Mustinya, kita bisa melihat perjalanan sejarah bangsa-bangsa besar tadi, baik di seluruh penjuru dunia, maupun di wilayah Nusantara dan mengambil pembelajaran darinya. Bahwa salah satu prasyarat dasar sebuah bangsa jika ingin besar adalah adanya passion yang kuat untuk mau belajar & terus menerus belajar akan segala hal. Pengejaran atas pengetahuan, pengembangan kultur keterbukaan informasi, diskusi, pertukaran pemikiran & penghargaan terhadap arti penting ilmu sangatlah utama.

Tapi lihatlah bagaimana kondisi bangsa ini. Lihat brapa anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah bagi masyarakatnya. Lihat betapa semakin tak terjangkaunya biaya pendidikan formal, bahkan di lembaga-lembaga pendidikan negri bagi sebagian besar warganya. Lihat betapa media massa lebih banyak mengurusi hal-hal remeh temeh seperti gosip artis, obrolan politkus tak bermutu, acara hiburan tak bermanfaat karena isinya cuman bullying dan joged-joged tak jelas. Lihat betapa banyak orang tua yang lebih suka mengajak anaknya ke mall daripada ke toko buku. Lihat betapa sepi perpusatakaan tidak hanya atas pengunjung tapi juga koleksi buku-buku bermutu. Lihat betapa kurangnya iklim menulis, membaca & membuat penelitian bahkan di kalangan civitas akademika.

Agak trenyuh membayangkan nasib bangsa ini ke depan jika terus-terusan seperti ini. Jangankan mengulang kebesaran nenek moyang kita di masa Majapahit yang dikenal sebagai bangsa maritim besar, untuk survive saja di era global bakal berat.

Rahasia Kebahagiaan Menurut Buddha

Samsara

Di antara ajaran-ajaran besar dunia, Buddhisme sangat menarik untuk dipelajari. Salah satu ajaran tertua yang bertahan sampai hari ini, Buddhisme berakar pada hasil kontemplasi Siddharta, sang pangeran yang melepaskan diri dari kehidupan kebangsawanan untuk mencari pencerahan, dan akhirnya ditemukannya di bawah naungan pohon Boddhi.

Dari apa yang saya pelajari sejauh ini mengenai Buddhisme, saya temukan beberapa hal penting & menarik. Antara lain apa yang akan saya share berikut ini. Yaitu mengenai rahasia meraih kebahagiaan dalam hidup.

Dalam hidup, manusia tak bisa menghindari apa yang disebut sebagai lingkaran samsara. Lingkaran kelahiran, kehidupan, kematian & kelahiran kembali. Apa yang kita lakukan dalam kehidupan menentukan seperti apa kehidupan kita berikutnya, umum disebut sebagai karma.

Buddhisme sangat concern dengan betapa samsara ini membelenggu manusia dan menjadikan hidup kita “menderita”. Pencarian terbesar dalam hidup adalah bagaimana bisa melepaskan diri dari lingkaran samsara ini dan mencapai kebahagiaan, atau kita sebut “nirwana”. Sedikit beda dengan ajaran sawami, nirwana tidak berwujud laiknya surga atau taman firdaus. Nirwana tak bisa didefiniskan. Intinya adalah lepasnya segala penderitaan.

Nah, yang saya sebut menarik dalam konsep ini adalah, pemahaman yang coba ditransferkan kepada penganutnya.

Diawali dengan postulat bahwa “Hidup adalah penderitaan”.

Dilanjutkan dengan postulat berikutnya, “Penderitaan disebabkan oleh keterikatan kepada dunia (attachment to the world)”.

Satu-satunya cara mencapai pelepasan dari penderitaan adalah melepaskan keterkaitan diri dengan duniawi.

Melepaskan diri dari keterkaitan diri dengan duniawi, ini adalah kuncinya. Apa maksud keterkaitan diri dengan duniawi?

Hal ini tak lain adalah pemujaan diri akan hal-hal duniawi. Pemahaman bahwa kebahagiaan kita ditentukan oleh kepemilikan akan hal-hal duniawi, seperti harta, keluarga, kekuasaan, pasangan dan sebagainya. Bahwa kita berharga hanya jika memiliki hal-hal duniawi tadi. Jika tidak, hidup tak berarti, dan hilang segala semangat diri.

Jika direnungkan dalam-dalam, pemahaman ini mirip dengan apa yang diajarkan para sufi dalam Islam. Bahwa segala apa yang menjauhkan kita dari mengingat Yang Satu adalah tuhan palsu. Jika harta, tahta, wanita/pria, anak dan sebagainya menjadikan diri kita lupa mengingat Yang Satu, artinya kita sudah mempertuhankan yang lain.

Hal pertama yang ditekankan para mursyid kepada para murid & para salik adalah penghambaan penuh kepada Yang Satu, Allah SWT, dan menafikkan penghambaan pada yang lain. Karena yang lain adalah mahluk, dan sesama mahluk tak layak saling bersandar. Yang layak disandari adalah Yang Tunggal, Yang Absolut, Yang Satu.

Sangat menarik untuk melihat kemiripan ajaran-ajaran tersebut. Bukan dalam konteks menyamakan, namun menemukan benang merah di antaranya. Dengan harapan menemukan pencerahan pada level esoteris dan tetap menghargai implementasi teknis eksoterisnya.

So, coba pejamkan mata sejenak, dan bayangkan dalam benak Anda. Kepada siapa Anda menyandarkan diri. Kepada apa kebahagiaan & makna hidup Anda sandarkan. Uang Anda, Harta Anda, Jabatan atau Profesi Anda, Keluarga, Pasangan, Anak-anak Anda atau apa?

Jika jawabannya bukan Yang Satu, maka hampir bisa dipastikan kita masih terjebak dalam lingkaran samsara tanpa ujung tanpa pangkal. Dan jika kita masih berputar-putar dalam lingkaran samsara, sulit kiranya meraih kebahagiaan dalam hidup ini.

Good day people.

Sedulur Papat

sedulur papat kalima pancer

sedulur papat kalima pancer

Dalam kosmologi Jawa, ada satu ajaran luhur tentang kehidupan. Ajaran tentang  Sedulur Papat atau Saudara Empat. lengkapnya Sedulur Papat Kalima Pancer.

Apa itu sedulur papat?

Orang jawa percaya bahwa setiap anak manusia mempunyai 4 (empat) saudara yang senantiasa menemaninya mulai dalam kandungan ibu hingga lahir dan menjalani kehidupan di dunia. Keempat saudara ini terdiri dari:

  • Kakang Kawah

Kakang Kawah atau plasenta adalah saudara tua manusia. Dia disebut kakak yang artinya kakak karena dia yang keluar terlebih dahulu sebelum jabang bayi pada saat kelahiran. Kakang Kawah inilah yang selama dalam alam kandungan senantiasa menjaga jabang bayi dengan segala perhatian. Melindungi, menghangatkan, memenuhi kebutuhan hingga tiba saatnya untuk lahir di dunia.

  • Adi Ari-Ari

Adi Ari-Ari atau ari-ari adalah saudara muda manusia. Hal ini karena ari-ari keluar setelah jabang bayi lahir. bersama dengan kakang kawah, adi ari-ari menemani pertumbuhan jabang bayi di dalam kandungan ibu. Memenuhi segala kebutuhannya dan memastikan semua aman dan mendukung perkembangan sang jabang hingga saat dilahirkan.

  • Getih

Getih atau darah adalah saudara ketiga manusia. Karena darah lah yang membawa segala kebutuhan anak di dalam kandungan dari sang ibu. Darah pula yang keluar mengiringi kelahiran sang jabang bayi. Darah yang pula keluar selama masa nifas sang ibu.

  • Puser

Tali puser (tali pusat) atau wudel adalah saudara keempat manusia. Dia lah yang menjadi jalan keluar masuknya semua kebutuhan sang jabang bayi dari sang ibu. Dia yang mengalirkan darah, udara, hasil pembuangan dan segala apa yang dibutuhkan dan dikeluarkan jabang bayi selama di kandungan. Tali pusat dipotong begitu jabang bayi lahir, menyisakan bekas di perut yang umum kita sebut puser.

Orang jawa percaya bahwa keempat saudara kita tersebut terus menemani bahkan setelah kita lahir di dunia. Jasad mereka mungkin telah tiada, karena umumnya plasenta pecah dan ari-ari akan dipendam setelah bayi lahir, darah akan disiram dan hilang terbawa air, sedangkan tali puser dipotong untuk kemudian disimpan atau dikubur juga. Keempatnya dengan segala daya dan kecintaannya pada kita terus mengiringi kehidupan kita.

Keempat saudara kita telah memberikan segalanya ketika kita dalam kandungan, dan mencapai titik kulminasinya saat kelahiran, dimana mereka dengan penuh kesukarelaan mengorbankan diri untuk mengantarkan jabang bayi lahir dengan selamat di dunia. Karenanya, dalam kebijaksanaan jawa dikenal tradisi untuk menghormati dan mengenang pengorbanan keempat saudara ini lewat selamatan. Di mana setiap tahu, bertepatan dengan hari lahir, kita dianjurkan untuk mengadakan selamatan dengan menyediakan sajian tertentu, biasanya berupa makanan sederhana dengan beberapa macam lauk dan dibagikan ke orang-orang sekitar.

Orang jawa juga diajarkan untuk senantiasa mengingat keempat saudara tersebut, mendoakannya dan meniru sifat dan pengorbanan mereka demi kehidupannya.

Ilir-Ilir, Kebijaksanaan a la Wali Songo

Sunan Kalijogo

Ilir ilir, ilir ilir, tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo, tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekna, kanggo basuh dodot ira
Dodot ira, dodot ira, kumitir bedah ing pinggir
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane
Ya suraka, surak hiya

Siapa tak kenal lagu yang satu ini?

Bagi yang besar di kultur Jawa, Ilir-Ilir pastinya akrab di telinga. Di pedesaan, lagu ini lazim disenandungkan di kala malam terang bulan. Menemani anak-anak bermain di halaman rumah atau tempat luas lainnya.

Namun seberapa banyak dari kita yang sadar akan kedalaman makna yang ada di dalamnya. Ilir-Ilir dipercaya merupakan gubahan para Wali Songo, utamanya Sunan Kalijogo,–meski ada pula yang menyebut Sunan Ampel atau Sunan Bonang sebagai penciptanya.  Dalam beberapa referensi mengenai penyebaran Islam di tanah Jawa, disebut bahwa suksesnya penyebaran Islam tak lepas dari penggunaan budaya lokal, terutama kesenian berbasis musik, guna menyampaikan nilai-nilai keislaman tanpa secara frontal menyingkirkan kepercayaan lama. Dan Sunan Kalijogo tersohor sebagai sosok penyebar Islam yang sukses melakukannya.

wali songo

wali songo

Jika kita perhatikan, masa penyebaran Islam-nya Wali Songo bersamaan dengan redupnya kekuasaan kerajaan Hindu Majapahit. Masa di mana masyarakat umum tengah mengalami krisis multidimenisonal. Kekacauan di mana-mana, kekeringam, bencana alam & sosial merajalela. Masyarakat kehilangan figur pemimpin, dan panutan religius. Saat itulah, Islam datang, menawarkan sesuatu yang baru. Suatu model keberagamaan & kehidupan sosial yang menyegarkan.

Islam, dikemas secara berbeda oleh Sunan Kalijogo dan Syech Siti Jenar. Alih-alih menawarkan sesuatu yang baru, kedua tokoh ini–dan mungkin juga banyak lainnya–mengemas Islam sebagai kelanjutan dari tradisi spiritualitas yang sudah ada di tanah Jawa sejak dahulu kala. Islam tak disampaikan sebagai produk baru yang asing & jauh dari pemahanan publik. Islam dibawa ke keseharian masyarakat, yang karenanya masyarakat bisa dengan lebih mudah meneriman intisari keislaman tanpa musti berubah secara drastis. Masyarakat Jawa bagai melewati sebuah sungai kecil tak kala mengkonversi kepercayaannya dari Hindu-Budha menjadi Islam, dan bukan melompati ngarai dalam.

Kembali tentang Ilir-Ilir, bagi Anda yang tak begitu paham bahasa Jawa, silahkan simak terjemahan berikut ini:

Ilir-ilir, Ilir-ilir, tandure (hu)wus sumilir
Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi

Bait ini berisi ajakan untuk bangun. Siapa yang diajak? Utamanya adalah para nayakapraja, atau para pembesar kerajaan & pemimpin masyarakat saat itu. Karena kondisi masyarakat di masa redupnya Majapahit yang kacau balau, di mana para penguasa lebih banyak mengurusi kepentingannya sendiri dan melupakan tanggung jawab utamanya, maka ajakan pertama untuk bangun dan sadar ditujukan pada mereka.

Tanaman telah bersemi maksudnya adalah Islam. Tanaman identik dengan suatu yang menghidupi, suatu yang memberi harapan, suatu yang memenuhi kebutuhan manusia. Ini pulalah yang ditawarkan Islam. Suatu ajaran yang menghidupkan manusia.

Lewat lagi Ilir-Ilir Wali Songo mengajak para pemimpin untuk bangun dan sadar bahwa tanggung jawab utama mereka adalah mengayomi masyarakat. Dan cara yang sebaiknya dilakukan guna mewujudkan itu adalah dengan mengikuti ajaran Islam.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru

Warna hijau adalah warna tanaman yang sedang tumbuh, yang juga identitas khas Islam. Bait ini sekaligus penegasan dari bait sebelumnya mengenai ajakan untuk memeluk Islam & mengaplikasikan ajarannya. Dianalogikan pula bahwa dengan memeluk Islam, maka para nayakapraja bak pasangan pengantin baru. Pengantin adalah mereka yang tengah berbahagia karena akan menyambut kehidupan baru. Kehidupan yang bahagia dan indah.

Di sini kebijaksanaan Sunan Kalijogo nampak jelas terlihat. Di mana para nayakapraka yang diajak untuk memeluk Islam adalah orang-orang lama, namun dengan memeluk Islam mereka diharapkan bisa mempunyai semangat seperti pengantin baru dalam melayani rakyatnya. Semangat untuk menuju hidup baru yang berbahagia.

Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi
Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu.

Siapa anak gembala?

Tak lain adalah para penguasa. Karena penguasa adalah mereka yang diberi tanggung jawab untuk mengarahkan hidup matinya masyarakat, bak seorang gembala yang mengarahkan ternaknya.

Para gembala diminta untuk memanjat pohon belimbing. Kenapa pohon belimbing? Hal ini ini adalah metafora. Metafora bahwa jika seorang pemimpin musti mau berusaha untuk bisa menjalankan tanggung jawabnya. Memanjat adalah suatu kegiatan yang butuh determinasi dan kekuatan. Dua hal yang musti dimiliki oleh para pemimpin, yaitu determinasi dan kekuatan untuk mewujudkan tugas & tanggung jawabnya.

Kenapa pohon belimbing?

Karena belimbing di masa lalu, dan mungkin di banyak tempat hingga sekarang, adalah tanaman yang buahnya punya banyak manfaat. Salah satu manfaat buah belimbing yang dirujuk dalam Ilir-Ilir adalah kemampuan untuk membersihkan. Ya, belimbing bisa digunakan sebagai sabun cuci untuk membersihkan pakaian. Inilah sebabnya Sunan Kalijogo lewat bait ini mengajak anak gembala (para pemimpin) untuk memanjat pohon belimbing guna memetik buahnya.

Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira
Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodot mu.

Pohon belimbing batangnya basah. Meski demikian, para gembala tetap harus berusaha untuk memanjatnya. Buah belimbing yang berhasil diambil akan digunakan untuk mencuci dodot. Apa itu dodot, tak lain adalah sebuat untuk pakaian kebesaran para penguasa. Pakaian juga merupakan <i>alter ego</i> seseorang. Karena pakaian selain sebagai penutup tubuh juga penanda diri seseorang.

Dengan mencuci dodot diharapkan diri sang penguasa menjadi bersih. Dengan diri yang bersih diharapkan mereka bisa lebih mampu memenuhi tanggung jawabnya sebagai abdi sekaligus pamong masyarakat. Pastinya masyarakat yang dipimpin oleh mereka yang dirinya bersih akan menjadi sejahtera.

Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek

Lewat bait ini para pemimpin diingatkan akan kondisi pakaian kebesaran–atau dirinya sendiri yang telah rusak dan robek di sana-sini. Upaya penyadaran akan kondisi yang sebenarnya ini dilakukan karena kecenderungan para pemimpin untuk tak bisa melihat secara jernih akan kekurangan dirinya. Apalagi di masa kekacauan seperti itu, lebih mudah untuk para pemimpin menafikkan kesalahan yang ada pada dirinya.

Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gustimu) nanti sore

Setelah sadar akan kerusakan dirinya, dianjurkan bagi para pemimpin untuk mau memperbaiki, dengan analogi menjahit & menisik lubang dan robekan yang ada di pakaian. Gunanya buat apa? Tak hanya demi keindahan diri sendiri, namun lebih utamanya adalah persiapan untuk menghadap Sang Pencipta kelak saat tiba waktunya.

Ini adalah ajaran yang dalam, karena kekuasaan dalam perspektif para wali pengusung Islam tak hanya perkara dunia semata. Namun lebih merupakan tanggung jawab kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga pemegang kekuasaan, para pemimpin, para nayakapraja pada akhirnya musti sadara bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pencipta.

Diharapkan dengan tumbuhnya kesadaran akan nisbinya kekuasaan yang dimiliki, para pemimpian tak terjebak untuk mempertuhankan kekuasaan sendiri.

Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane
Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang

Mumpung rembulan masih purnama artinya mumpung masih ada kesempatan, masih diberi kelapangan, masih ada penerangan, kita musti bersama-sama berjuang untuk memperbaiki diri dan kehidupan. Sebelum tiba saat dimana kondisi tak memungkinkan lagi untuk merubah dan berubah–yaitu saat akhir dunia.

Ya suraka, surak hiya
Ya, bersoraklah, berteriak-lah IYA

Maka bergembiralah, bersoraklah semua. Ini adalah ungkapan kegembiraan akan hadirnya harapan baru. Harapan untuk terlepas dari segala kegalauan dan menuju kehidupan yang terang benderang dan sejahtera.

Tragedi Kristen Arab

Satu artikel menarik di majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2009, tentang tragedi masyarakat Kristen Arab.  Yup, masyarakat Arab yang beragama kristen. Shocking, mungkin bagi banyak orang, yang selama ini terlanjur percaya bahwa Arab senantiasa identik dengan Islam.

Masyarakat Kristen Arab terutama mendiami wilayah yang disebut Levant, meliputi Suriah, Lebanon, Yordania, Israel & Palestina ini sudah ada sejak ratusan tahun sebelum Islam muncul di bumi Makkah di abad ke 7. Mereka, termasuk cikal bakal masyarakat kristen dunia, yang sayangnya sekarang semakin tersingkir, bahkan mulai hilang tergerus putaran jaman.

Masyarakat Kristen Arab ini yang di artikel tersebut dianggap sebagai missing link antara dunia Kristen Barat dengan Dunia Islam. Karena, lewat masyarakat Kristen Arab inilah berbagai titik temu, contoh toleransi & kesalingpengertian nampak jelas terbangun .

Apa yang membuat masyarakat kristen Arab istimewa adalah fakta bahwa selain mereka termasuk kelompok masyarakat paling awal yang memeluk ajaran Yesus, juga mereka mengalami dilema hidup yang tak kalah kompleksi jika dibandingkan sejawatnya yang asli Yahudi. Mereka secara etnis adalah bangsa Arab, namun karena pilihan kepercayaannya menjadikan mereka semacam “alien” di tengah lautan masyarakat Arab lainnya yang memeluk Islam.

Konflik berbasis agama ini telah berlangsung sejak awal keberadaan masyarakat Kristen Arab ini. Mulai jaman Rowmawi, bangkitnya Islam di bawah panji-panji Rasullulah & dilanjutkan berbagai dinasti yang silih berganti menguasai wilayah yang mereka diami.

Tak terkecuali jaman sekarang. Konflik semakin memuncak dengan kacau balaunya kebijakan luar negri negara-negara Barat–yang notabene juga identik dengan Kristen–dengan puncaknya pada kampanye perang global antiterorisme dibawah pimpinan Amerika Serikat. Masyarakat Kristen Arab  semakin terjepit, karena keimanan mereka menempatkan mereka di titik penuh kecurigaan dari para tetangga muslimnya, namun di saat bersamaan mereka tak sepenuhnya setuju & mendukung kebijakan perang yang dikampanyekan negara-negara Barat.

Dalam artikel ini dikisahkan kehidupan beberapa orang Kristen Arab yang terjebak dalam konflik tersebut. Sepasang suami istri yang karena peraturan negara zionis Israel baru bisa merayakan hari Paskah bersama meski mereka sudah menikah bertahun-tahun. Seorang milisi Kristen Lebanon yang terjebak dalam perang terus menerus dengan musuh sekaligus tetangga kotanya yang muslim di Beirut. Sepasang suamu istri dan anak perempuannya yang akhirnya memutuskan berimigrasi ke Kanada guna mencari penghidupan yang lebih baik. Serta impian seorang ibu untuk bisa keluar dari negrinya yang penuh konflik dengan menyekolahkan anak perempuannya setinggi mungkin hingga suatu saat bisa mengajaknya pindah ke negri lain.

Namun, selain konflik berdarah, di sana juga terlihat wujud nyata tolerasi beragama. Di mana biara-biara kristen banyak berdiri dan dikunjungi tak hanya oleh pengikut ajaran Yesus namun juga kaum muslim, hingga kebiasaan untuk saling hadir dalam acara perkawinan, kematian, dan sebagainya.

Ini memang tanah yang kontradiktif. Penuh konflik sekaligus titik tolak penyelesaiannya. Karena di sini, agama-agama besar lahir, dan di sini pulalah pertentangan politis berbalut agama berlangsung berabad-abad. Niscaya, di tanah ini pulalah semua akan berakhir–semoga dengan damai.